Labels

Di dunia ini, banyak orang rese


Ada seorang ibu yang punya warung makan, sederhana sekali warung makannya, tapi karena enak dan murah, warung itu terkenal dan ramai. 

Alkisah, suatu hari datanglah si mr X Ahli pemasaran (ngakunya), datang dengan jas dan stelan kinclong. Makan si mr X ini, sambil sibuk komentar sana-sini. Termasuk sebuah pertanyaan, "Bu, kalau warungnya ramai begini, kenapa tidak pindah ke toko yang lebih besar?" Tanya si mr X pada pemilik warung, Bu Siti. Bu Siti hanya diam (karena dia sedang sibuk melayani pembeli lain). 

"Sayang loh, Bu, ini ramai sekali. Bla-bla-bla... Kalau pindah, nanti penjualannya semakin baik, bla-bla-bla..." Si mr X mulai berceloteh, dan terus berceloteh seperti tahu sekali soal pemasaran warung makan.

Lima menit, sambil terus kerepotan melayani pembeli lain, Bu Siti akhirnya balas bertanya, "Sampeyan mau modalin saya pindah ke toko yang lebih besar?" Si mr X menatap Bu Siti. Terdiam. 

"Gimana maksudnya, Bu?"

"Kalau sampeyan mau modalin, saya mau saja pindah. Sekalian tolong carikan lokasi yang lebih bagus dibanding di sini. Tolong urus semua yang sampeyan jelasin tadi." Si mr X nyengir, menggeleng, "Ah, itu cuma saran sih Bu." Bu Siti menatap wajah si mr X yang cengengesan, memutuskan melanjutkan kesibukannya. Dia sudah bosan sebenarnya mendengar komentar seperti si mr X ini. Orang2 yang tidak paham sama sekali kenapa dia tetap berjualan di sana--tapi merasa lebih tahu. 

Di dunia ini, banyak orang rese seperti Si mr X ini (boleh jadi kitalah si mr X-nya). Ada yang nanya, "Kenapa belum lulus kuliah?" Kemudian panjang lebar menceramahi kita. Ada yang nanya, "Kenapa belum bekerja?" Kemudian panjang lebar membahas soal pekerjaan, dsbgnya. "Kenapa belum menikah?", "Kenapa belum punya anak?", "Kenapa belum nambah anak lagi?"

Satu-dua, itu level-nya memang basa-basi, pemanis percakapan. Tapi tidak sedikit yang menjurus ke level rese, tidak penting, dan hei, situ memangnya siapa? Apakah tidak punya topik percakapan lain? Tidakkah kita membahas tentang hari yang cerah? Tidakkah kita membahas betapa segar udara hari ini, betapa banyak nikmat dari Allah ? Daripada membahas hal-hal yang boleh jadi adalah misteri.

Jika kita dalam posisi si mr X tadi, selalu pastikan apakah kita dalam posisi relevan atau tidak mengomentari, penting atau tidak bertanya kepada orang lain. Bertanya soal menikah misalnya, orang tuanya bukan, teman dekat juga bukan, hanya karena bertemu sesaat, sudah PD sekali bertanya. Bertanya soal anak, kasus lainnya, keluarganya bukan, sahabatnya juga tidak, hanya karena bertemu satu menit di sebuah acara, sudah PD sekali tertawa sambil bertanya. Kan itu ganjil sekali. 

Atau jangan-jangan, teknologi media sosial telah mengubah cara berpikir dan cara berinteraksi. Kita selalu merasa satu level, satu derajat, hanya karena bisa berkomentar di postingan orang lain. Kita selalu merasa teman dekat, kenal buanget, hanya karena bisa nge-add. Sayangnya, itu keliru sekali di dunia nyata. Di dunia aslinya, ayolah, kita yang super gaul di media sosial, boleh jadi tetangga sebelah rumah pun tidak kenal.

Terakhir, jika kita dalam posisi si mr X, sebenarnya apa sih respon terbaik kita saat berada di warung makan itu? Basa-basi terbaik kita? Sederhana saja, kenapa kita tidak berkomentar, "Wah, Bu, ini makanan lezat sekali. Besok-besok saya akan makan di sini lagi, juga ngasih tahu teman-teman saya agar ke sini." Nah lihatlah, Bu Siti akan tersenyum--atau malah sampeyan dikasih makan gratis olehnya.

Jangan jadi orang rese. Selalu berlatih mengendalikan mulut kita jika sudah berurusan dengan area personal orang lain.


Tidak ada komentar :

Posting Komentar